NARASI JARAK

Entah kenapa aku benar-benar merasa sendiri. Ada jarak di mana-mana, dan aku tak bisa menemukan tempat untuk menyandarkan sepi yang semakin penat. Tak ada kabar dari asal harapan yang sampai saat ini masih memberiku sebuah keyakinan. Jika dia memang penutup lubang hati, harusnya aku sudah tertidur pulas dalam bisikannya.

Dulu, ketika gundah mengacak-acak pikiran, aku bisa pulang menuju rumah keakraban yang dihuni oleh kedekatan hati yang penuh kehangatan. Sekarang dia sudah dipinang waktu, memilih sejarah sebagai seorang yang jauh berbeda. Aku hampir tak mampu mengenalnya, padahal dia adalah jiwa yang mengajariku makna berbagi. Pernikahan telah merampas seorang sahabat baik yang dulu selalu ada untukku. Ah... Aku bukan cemburu pada kebahagiaannya. Jenjang kehidupan dia memang sudah setingkat lebih maju dariku, sedangkan aku masih berkutat dalam kegalauan rindu yang tak terpecahkan.

Wahai ikatan hati yang pendiam, aku tak bisa berkaca pada semua kebaikanmu. Kamu terlalu lurus, tapi aku semakin tak mengenalmu. Hidup harus penuh liku-liku agar kita terbiasa bicara dan mendengar. Kamu terlalu sederhana tapi sangat tak wajar. Beritahu aku tujuanmu agar kita tak tersesat di perempatan benci. Cobalah sekali saja mengerti, aku ini wanita- bukan rekayasa genetika yang bisa kau kunci dalam memori idealisme masa depanmu. Aku ini jiwa, bukan seonggok daging yang kau siapkan untuk menanam benih pikiranmu. Kenalilah dirimu agar kau mengenalku. Tapi jika kau tak pernah rindu padaku, maka aku memang tak mengenalmu.
(KLU: APRIL 2013)



Artikel Terkait:

0 Response to "NARASI JARAK"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme