SAUDARA KANDUNG

Sukosrono:

Kau anggap dirimu bisa merubah musim
Sedangkan tanganmu saja tidak bisa menyentuh awan
Kau tidak pernah lebih tinggi dari langit apalagi hendak menguasainya
Jangan jadikan alasan kemarau panjang ini melegalkanmu untuk berselingkuh dengan terik dahaga
Sehingga embun pagi hari tak pernah kau tengok dan terus menguap menuju apatisme paradigma
Kau anggap dirimu adalah harapan yang akan memberi daya ungkit perubahan
Sedangkan hujan airmata mungkin akan berakumulasi menjadi banjir bah penghancur peradaban
Apa yang hendak kau lakukan dengan melarutkan diri dalam sumber unsur pancaroba?
Lalu jika kau bukan dirimu, di depan cermin mana kau hendak berkaca?

Sumantri:

Sudahlah saudaraku; Sukosrono
Keikutsertaanku dalam panggung birokrasi memang tak mampu memberikan arti
Aku tidak mampu berlindung dalam kepuasan memaknai hidup ini
Tapi aku juga tidak bisa bersembunyi dari kenyataan
Bahwa ketika fakta demi fakta diciptakan, maka tentu harus kusaksikan
Musim memang tak bisa kukendalikan
Moderenisasi karya yang dipertuan global telah berhasil merubah cakrawala
Sedangkan kita terus bertengkar tentang jalan dan arah
Apakah aku begitu hina di matamu? Padahal kita dilahirkan dari benih nurani yang sama
Kau yang tetap setia pada jelmaan rakyat harus tetap menjadi embun
Sedangkan aku yang bercampur sebagai uap air akan menerima terik dan memberi pelangi
Aku memang bagian dari panas terik itu
Tapi aku tetap mencintaimu

Sukosrono:

Saudaraku, sumantri...
Aku samasekali tidak membencimu
Tapi jika terik pancaroba telah menguapkan seluruh unsurmu tanpa sisa
Jika pelangi tak bisa lagi kutemukan di cakrawala kala
Maka kau adalah musuhku
Bersiap-siaplah dengan Takdir
Agar ikatan darah ini tidak meracuni kita dengan belaskasih palsu yang akan menghentikan keturunan nenek moyang kita

BAYAN: (OKTOBER 2013)



Artikel Terkait:

0 Response to "SAUDARA KANDUNG"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme